PALEMBANG – Kisruh kepemilikan lahan di Pulau Kemaro, ikon wisata religi dan budaya di Kota Palembang, kembali mencuat ke permukaan.
Pemerintah Kota Palembang menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan berkeadilan, terutama bersama para ahli waris (zuriat) ulama besar Palembang, Syekh Ahmad Marogan atau Ki Marogan.
Wakil Wali Kota Palembang, Prima Salam, menyampaikan harapan agar permasalahan ini dapat diselesaikan dengan dialog yang mengedepankan niat baik dan kepentingan bersama.
“Kita ingin duduk bersama, membangun niat baik dan mencari jalan keluar terbaik. Kalau memang lahan itu milik zuriat, kita bicarakan opsi wakaf produktif. Jangan sampai ada konflik berkepanjangan,” ujar Prima Salam dikutip dari Sripoku.com.
Menurutnya, momentum penyelesaian konflik ini bisa menjadi katalis untuk memperkuat identitas budaya dan religi Kota Palembang, menjadikan Pulau Kemaro sebagai destinasi wisata unggulan yang mengedepankan nilai sejarah dan syariah.
“Kalau semua pihak bersatu, saya yakin Pulau Kemaro bisa jadi magnet wisata berbasis sejarah Islam yang kuat,” tandas Prima.
Di sisi lain, perwakilan keluarga besar Ki Marogan, Memet Ahmad, menyambut baik inisiatif pemerintah untuk menata kembali Pulau Kemaro. Namun, ia menekankan satu syarat utama: pembangunan harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam.
“Kami bukan menuntut ganti rugi atau jual beli. Tapi pembangunan harus ada syiar Islamnya. Pulau Kemaro itu warisan ulama besar, dan kami siap mewakafkan demi kepentingan umat,” tegas Memet.
Ia juga menyebutkan bahwa pengelolaan lahan bisa dilakukan bersama antara Pemkot Palembang, MUI, dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai nazir atau pengelola wakaf.
Memet memaparkan bahwa lahan Pulau Kemaro seluas sekitar 87 hektare secara historis dan legal merupakan milik Ki Marogan, dibuktikan dengan sejumlah dokumen resmi, termasuk dokumen tanah berbahasa Arab yang diterbitkan pada tahun 1881 dan telah diterjemahkan secara sah.
Kepemilikan itu juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung tahun 1987, serta putusan dari Pengadilan Negeri Palembang.
“Selama ini Pulau Kemaro dikenal karena kelentengnya. Padahal, sejarah Islamnya sangat kuat. Kami hanya ingin pengakuan dan pengelolaan bersama,” ungkap Memet.